Selasa, 22 September 2015

(CERPEN) KARANG I

Karangmu menghadang ombak emosi yang sangat kuat menyebabkan pengikisan. Mengapa kau tak menghindar? Jika kau tetap bertahan, kerasmu perlahan akan hanyut bersama ombak. Rinai surai purnama yang terjulur indah cukup untuk menyelimuti malamku. Perbedaan memang sangat perlu untuk saling dipahami, tapi sekaligus bukan untuk dipaksakan. Dan kembali lagi, dan berulang lagi pertengkaran yang tiada berujung. Ahh bukan, ini perdebatan.
'Rasa ini apa? Menyayangi bukan begini caranya. Memiliki? Kau hanya perlu bahagia dan melihatku bahagia'
'Bagaimana bisa ketika aku telah mengetahui kau menyembunyikan air mata dan luka di balik kepalsuan?'
Aku diam. Api dalam hati padam. Aku bahkan tidak mempunyai pikiran untuk sekedar membuka mulut untuk bernafas. Setiap sendi menjadi lemas, dan semua terasa panas. Kini aku menjadi ombak yang ingin berlari dari karang. Meski karang itu hanya berdiri, ia memang selalu berdiri. Diam.
Dia masih kaku di tempat, tapi aku beku dan tak bisa lari dari apapun. Cahaya dari mata yang indah lekat menatap padaku. Mereka bening hingga aku dapat melihat bayangan diriku dengan jelas, hanya ada sekelebat awan yang membuatnya tak sempurna. Kepedihan dari luka yang sangat dalam dan sangat lama yang tak pernah berbenah.
'Apa begitu nikmat?'
Ya aku menikmatinya, dan aku belum merasakan lezatnya, tapi akan segera, jika..
'Mengapa kau jadikan dirimu kuburan? Memendam mereka, dan menggalinya di saat kau pun tak tau bahwa kau ada pada dirimu.'
Jika saja kau melepasku. Jika saja kau mampu hanya mengabaikan aku.
'Kau hanya memikirkan dirimu seorang..'
'Bagaimana kau bisa berkata semacam itu? Apa mudah mengeluarkan kata-kata itu? Ah tentu, tapi aku sangat sulit untuk mencernanya, bahkan untuk memasukkannya ke dalam telingaku.'
'Tak bisakah..'
Masih ada sisa daya yang dapat membawaku lari, aku berlari sekuatnya. Getar suara semakin sayup, aku pergi dengan wajah kuyup. Aku berlari.

Senin, 21 September 2015

MENGQADHA SHOLAT DAN PUASA ORANG MENINGGAL




MENGQADHA SHOLAT DAN PUASA ORANG MENINGGAL
MAKALAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Fiqih Ibadah
Dosen Pengampu : H. Ahmad Hamdani, LC., MA.
 



                                                                                              




Disusun Oleh :
Naila Shifwah (1310110213)


                                                                    
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH/PAI
2014



A.     LATAR BELAKANG
 Shalat dan puasa  merupakan bagian dari lima rukun Islam. Jika diibaratkan Islam itu sebuah rumah, shalat adalah tiangnya. Oleh karena hal tersebut, siapa muslim yang menunaikan shalat berarti menegakkan Islam, sebaliknya yang meninggalkan shalat secara tidak langsung ia telah merobohkannya.
Meskipun demikian, dalam kenyataannya masih banyak dijumpai orang yang menyepelekan dua kewajiban di atas, dengan meninggalkan secara total atau mengerjakan sesuka hati. Fenomena ini terjadi terutama pada ibadah shalat.
Hal tersebut berlanjut hingga seorang muslim menemui ajalnya, yang berakibat pada hutang shalat dan puasa yang masih ia tanggung, ini yang menjadi persoalan yang dihadapi oleh orang-orang yang ditinggalkannya di dunia. Selain karena hal tersebut, permasalan ini juga terjadi pada orang muslim yang mengalami sakit yang tidak memungkinkan lagi untuk menunaikan dua kewajiban di atas dan ia tidak sembuh sampai ajal menjemputnya atau orang muslim yang tidak memiliki daya untuk menunaikannya, sehingga ia mempunyai hutang  baik shalat atau puasa, maupun keduanya.
Permasalan ini banyak kita dijumpai di masyarakat. Berkenaan shalat dan puasa merupakan kewajiban yang sangat mendasar, serta masih banyak masyarakat muslim yang belum mengerti tentang permasalan ini. Apakah islam memperbolehkan mengqadha atas hutang shalat dan puasa orang meninggal, atau tidak? Lalu apa argumen terhadapnya? Berikut akan dijelaskan dalam makalah ini.

B.     RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, berikut permasalan yang akan kami bahas:
1.      Bagaimana pendapat para ulama yang memperbolehkan mengqadha shalat dan puasa orang meninggal?
2.      Bagaimana pendapat para ulama yang tidak memperbolehkan mengqadha shalat dan puasa orang meninggal?
3.      Bagaimana pendapat penulis mengenai permasalahan mengqadha shalat dan puasa orang meninggal?







C.     PEMBAHASAN
1.      Pendapat yang Memperbolehkan Mengqadha Shalat dan Puasa Orang Meninggal
Ø  Shalat
Jika ada orang yang meninggal dunia, sedangkan dia masih memiliki tanggungan puasa maka walinya berpuasa untuknya. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : ”Barangsiapa yang meninggal dunia sedangkan dia masih memiliki tanggungan puasa, maka wali-nya berpuasa untuknya.”
Ulama’ berkata bahwa maksud wali disini adalah orang yang mendapatkan warisan darinya. Misalnya, jika ada seseorang yang  berbuka pada puasa Ramadhan karena sedang safar atau sakit, lalu Allah menyembuhkan penyakitnya, namun dia meninggal dunia dan belum sempat meng-qadha puasa yang dia tinggalkan, maka wali-nya berpuasa untuknya. Yang meng-qadha puasanya bisa anak laki-lakinya, bapaknya, ibunya, atau anak perempuannya. Yang penting statusnya sebagai ahli waris dia (orang yang meninggal dunia). Namun demikian, tidak mengapa  jika ada orang di luar ahli waris yang berpuasa baginya. Kemudian jika tidak didapati seorangpun yang mengganti puasa dia, maka (ahli waris) dia hendaknya memberi makan setiap harinya satu orang miskin sebanyak puasa yang dia tinggalkan.[1]
فائدة  من مات وعليه صلاة فلا قضاء ولا فدية وفي قول كجمع مجتهدين أنها تقضى عنه لخبر البخاري وغيره ومن ثم اختاره جمع من أئمتنا وفعل به السبكي عن بعض أقاربه ونقل ابن برهان عن القديم أنه يلزم الولي إن خلف تركة أن يصلى عنه كالصوم وفي وجه عليه كثيرون من أصحابنا أنه يطعم عن كل صلاة مدا وقال المحب الطبري يصل للميت كل عبادة تفعل واجبة أو مندوبة[2]
Barangsiapa meninggal dunia dan padanya terdapat kewajiban shalat maka tidak ada qadha dan bayar fidyah. Menurut segolongan para mujtahid sesungguhnya shalatnya juga diqadhai berdasarkan hadits riwayat Bukhari dan lainnya karenanya segolongan imam cenderung memilih pendapat ini dan Imam Subky juga mengerjakannya untuk sebagian kerabat-kerabat beliau.
Ibn Burhan menuqil dari qaul qadim wajib bagi wali bila mayit meninggalkan warisan untuk menshalati atas namanya seperti halnya puasa, sebagian ulama pengikut syafi’i memilih dengan mengganti setiap satu shalat satu mud. Syekh Muhib at-Thabry berkata “Akan sampai pada mayat setiap ibadah yang dikerjakan baik berupa ibadah wajib ataupun sunah”[3]
Mayoritas ulama tidak membolehkan mengqadha-kan shalat orang yang meninggal. Namun sebagian ulama membolehkan berdasarkan pada hadits sahih riwayat Bukhari sebagai berikut:

أن ابن عمر رضى الله عنهما أمر امرأة جعلت أمها على نفسها صلاة بقباء - يعنى ثم ماتت -فقال : صلى عنها
Artinya: Ibnu Umar pernah memerintahkan seorang perempuan yang bernadzar untuk shalat di Quba' kemudian meninggal (sebelum melaksanakan nadzar tersebut). Ibnu berkata: Shalatlah untuknya.
Pendapat  yang ini diqiyaskan pada puasa. Semakna dengan pernyataan tersebut, Imam As Subki juga pernah melakukan qodlo shalat untuk keluarganya yang meninggalkan 5 waktu shalat. Dan ternyata respon dari kalangan Syafi’iyah menganggapnya sebagai hal yang baik. Pelaksanaan qodlo shalat ini dilaksanakan baik ada wasiat dari mayyit atau tidak. Qaul (pendapat) ini juga didukung oleh sekelompok ulama kontemporer, dengan bertendensikan bahwa kalau puasa saja bisa diqodlo oleh orang lain mengapa shalat tidak? padahal shalat adalah paling penting (al aham) dan merupakan rukun islam yang kedua sebelum rukun puasa.
ان امرأة قالت : يا رسول الله ان امى ماتت وعليها صوم نذر افأصوم عنها ؟ قال : ارأيت لو كان على أمك دين فقضيته اكان يؤدى ذلك عنها ؟ قالت : نعم، قال، فصومى عن امك (رواه مسلم)

“Sesungguhnya orang perempuan telah bertanya kepada Rosululloh SAW : Ya Rosululloh, Ibu saya telah meninggal dunia sedang ia masih mempunyai tanggungan puasa nadzar yang belum ditunaikannya? Rosululloh SAW pun menjawab : Katakanlah padaku, seandainya ibumu mempunyai utang, kemudian engkau bayar utangnya itu, adakah terbayar utang ibumu itu? Ya; jawab si perempuan itu, Rosululloh SAW bersabda : Berpuasalah engkau untuk ibumu“(HR Muslim)
Ø  Puasa
Bagi orang yang meninggal dunia, namun masih memiliki utang puasa, apakah puasanya diqodho’ oleh ahli waris sepeninggalnya ataukah tidak, dalam masalah ini para ulama berselisih pendapat. Pendapat terkuat, dipuasakan oleh ahli warisnya baik puasa nadzar maupun puasa Ramadhan. Pendapat ini dipilih oleh Abu Tsaur, Imam Ahmad, Imam Asy Syafi’i, pendapat yang dipilih oleh An Nawawi, pendapat para pakar hadits dan pendapat Ibnu Hazm. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/130-133)
Dalil dari pendapat ini adalah hadits ‘Aisyah,
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki kewajiban puasa, maka ahli warisnya yang nanti akan mempuasakannya.” (HR. Bukhari no. 1952 dan Muslim no. 1147) Yang dimaksud “waliyyuhu” adalah ahli waris. (Lihat Tawdhihul Ahkam, 2/712 dan Asy Syarhul Mumthi’, 3/93) Namun hukum membayar puasa di sini bagi ahli waris tidak sampai wajib, hanya disunnahkan. (Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/26)
Juga hadits Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ ، وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ ، أَفَأَقْضِيهِ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ - قَالَ - فَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى »
“Ada seseorang yang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian dia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, dan dia memiliki utang puasa selama sebulan [dalam riwayat lain dikatakan: puasa tersebut adalah puasa nadzar], apakah aku harus mempuasakannya?” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iya. Utang pada Allah lebih pantas engkau tunaikan.” (HR. Bukhari no. 1953 dan Muslim no. 1148)
Hadits ‘Aisyah di atas membicarakan utang puasa secara umum sedangkan hadits Ibnu ‘Abbas membicarakan utang puasa nadzar. Jadi keumuman pada hadits ‘Aisyah tidak dikhususkan dengan hadits Ibnu ‘Abbas karena di dalamnya tidak ada pertentangan. Sebagaimana dalam ilmu ushul fiqh, takhsis (pengkhususan) itu ada jika terdapat saling pertentangan antara dalil yang ada. Namun dalam kasus ini, tidak ada pertentangan dalil. Ibnu Hajar mengatakan, “Hadits Ibnu ‘Abbas adalah hadits yang berdiri sendiri (tidak berkaitan dengan hadits ‘Aisyah, -pen), membicarakan khusus orang yang memiliki qodho’ puasa nadzar. Adapun hadits ‘Aisyah adalah hadits yang bersifat umum.” (Fathul Bari, 4/193)
Boleh beberapa hari qodho’ puasa dibagi kepada beberapa ahli waris. Kemudian mereka –boleh laki-laki ataupun perempuan- mendapatkan satu atau beberapa hari puasa. Boleh juga mereka membayar utang puasa tersebut dalam satu hari dengan serempak beberapa ahli waris melaksanakan puasa sesuai dengan utang yang dimiliki oleh orang yang telah meninggal dunia tadi. (Lihat Tawdhihul Ahkam, 2/712)[4]
2.      Pendapat yang Tidak Memperbolehkan Mengqadha Shalat dan Puasa Orang Meninggal
Ø  Shalat
Berkata Zakariya Anshary : “Pada ibadah badaniyah, tidak boleh pada syara’ menggantikannya kecuali haji, umrah dan puasa setelah orangnya meninggal dunia”.[5]
Menurut Imam Nawawi “Kalau seseorang meninggal dunia, atasnya ada hutang shalat atau i’tiqaf yang ditinggalkannya, maka walinya tidak boleh melakukan shalat sebagai penggantinya dan tidak juga fidyah sebagai pengganti shalat”.
Zainuddin al-Malibary juga berpendapat : “Kalau seseorang meninggal dunia, atasnya ada hutang shalat yang ditinggalkannya, maka tidak ada qadha dan tidak juga fidyah”. Selanjutnya beliau mengatakan : “Ada pendapat yang menjadi pegangan kebanyakan ashhabina, diberikan untuk setiap shalat satu mud makanan”.[6]
Al-Kurdy juga berkata: “al-Khuwarizmy pernah mengatakan : “Aku pernah melihat ulama dari sahabat-sahabat kita di Khurashan yang berfatwa dengan memberikan satu mud makanan untuk setiap shalat yang ditinggalkannya.”[7]
Sedangkan pendapat rajih dalam mazhab Syafi’i tidak boleh membayar fidyah sebagai pengganti shalat orang yang sudah meninggal dunia, karena shalat merupakan ibadah badaniyah. Seseorang yang meninggalkan shalat, baik sengaja atau tidak, maka tidak ada penggantinya kecuali dengan qadha pada waktu hidupnya Pendapat didukung oleh hadits Nabi SAW , antara lain hadits riwayat Bukhari dan Muslim :
مَنْ نَسِيَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا لاَ كَفَّارَةَ لَهَا إِلاَّ ذَلِكَ
Artinya : Barangsiapa yang lupa shalat, maka hendaklah dia shalat apabila sudah mengingatnya kembali, tidak ada kifarat untuknya kecuali itu.(H.R.Bukhari[8] dan Muslim[9])
Pendapat mengenai shalat yang tidak bisa diqodlo dan fidyah ini yang ashoh (paling shahih) dan masyhur menurut Imam Syafi’i. Karena tidak terdapat dalam hadits dan al Qur’an.
من مات و عليه صلاة فرض لم تقض ولم تفد عنه  (اعا نة ا لطا لبين ج 1 ص 33)[10]
Barang siapa yg meninggal dunia sedang ia memiliki tanggungan sholat maka tidak usah di qodlo dan di fidyahi“
Bahkan menurut hanafiyah, seandainya ahli waris menqodlo atas perintah si mayyit saat hidupnya maka tidak diperbolehkan, karena sholat merupakan ibadah badaniyyah yang tidak boleh digantikan oleh orang lain.
ولوقضاها بامره لم يجز لانها عبادة بدنية (اعا نة ا لطا لبين ج 1 ص 33)[11]
Ø Puasa
          Imam Ahmad berpendapat bahwa qadha puasa itu hanya untuk yang dinadzarkan. Adapun yang fardhu, maka tidak perlu diqadhakan untuk orang yang telah meninggal dunia, tapi cukup dengan menyedekahkan dari harta yang ditinggalkan sebanyak setengah sha’ untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan. Imam Ahmad berdalil dengan hadits Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam, “Tidak sah seseorang berpuasa atas nama orang lain, begitu pula tidak sah seseorang shalat atas nama orang lain.”
Hadits yang dijadikan landasan Imam Ahmad mengandung makna bahwa kewajiban itu adalah beban orang-orang yang masih hidup, bukan orang meninggal. Dan dalam urusan ibadah, tidak boleh diwakilkan kepada orang lain kecuali dalam kondisi tertentu.[12]
Al ‘Azhim Abadi mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa jika seseorang tidak puasa karena alasan sakit dan safar, lalu ia tidak meremehkan dalam penunaian qodho’ hingga ia mati, maka ia tidak ada kewajiban qodho’ dan juga tidak ada kewajiban fidyah (memberikan makan pada orang miskin).” (‘Aunul Ma’bud, 7/26) [13]
3.      Pendapat Penulis
Mengenai menggodlo sholat dan puasa orang meninggal penulis lebih melihat pada pendapat yang memperbolehkan mengqadhanya. Bagaimanapun masing-masing mempunyai landasan hukum tersendiri terhadap menyikapi permasalan ini, termasuk pendapat yang memperbolehkan mengqadhanya.
Dalam sebuah hadits dalam riwayat Imam Muslim diceritakan, suatu ketika Rasulullah pernah ditanya oleh seorang perempuan perihal ibunya yang meninggal dunia dalam keadaan masih menanggung puasa nadzar; apakah dia bolah mengqadha atas namanya.
Akhirnya beliau menjawab, “berpuasalah sebagai ganti ibumu (summy ‘an ummik)”. Dalam hadits lain riwayat Imam Bukhari dan Muslim, Rasul juga bersabda, “Barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan masih menanggung puasa, maka walinya berpuasa, mka walinya berpuasa atas namanya”.
Kedua hadits tersebut jelas memperbolehkan orang yang masih hidup mengqadha puasa orang yang telah meninggal dunia. Dalam hal ini, shalat disamakan dengan puasa dengan jalan qiyas (analogi).
Dengan diperbolehkan mengqadha sholat dan puasa bukan berarti lantas kita bisa dengan enteng meninggalkan sholat dan puasa, toh nanti kalau meninggal dunia ada yang menggantinya. Tetapi hal itu harus dipahami sebagai bukti betapa tingginya kedudukan atau nilai sholat dan puasa dalam Islam.
Di samping itu, menggantungkan nasib kepada orang lain, apalagi yang berhubungan dengan urusan agama yang berkaitan dengan kehidupan yang kekal di akhirat, sudah barang tentu tindakan ynag sembrono dan berbahaya sekali. lagi pula, kalau si mayit meninggalkan sholat atau puasa tanpa udzur meskipun pada akhirnya ada wali atau keluarga yang mengqadha atas namanya, ia tetap harus mmpertanggungjawabkan perbuatannya kepada Allah. Sebab meninggalkan sholat atau puasa tanpa udzur di samping mengqadha yang bersangkutan juga diharuskan bertobat. Padahal dengan datangnya ajal kesempatan tobat telah tertutup.
Perbedaan pendapat ulama adalah rahmat bagi ummat, maka dengan perbedaan pendapat di atas diharapkan tidak menjadikan polemik yang berkepanjangan di tengah masyarakat, akan tetapi justru membuat kita dapat saling menghargai dan menghormati pendapat orang lain yang juga mengikuti pendapat ulama’ yang mu’tabar.
D.     KESIMPULAN
Ø  Pendapat yang memperbolehkan.
Jika ada orang yang meninggal dunia, sedangkan dia masih memiliki tanggungan puasa maka walinya berpuasa untuknya. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : ”Barangsiapa yang meninggal dunia sedangkan dia masih memiliki tanggungan puasa, maka wali-nya berpuasa untuknya.”
Bagi orang yang meninggal dunia, namun masih memiliki utang puasa, apakah puasanya diqodho’ oleh ahli waris sepeninggalnya ataukah tidak, dalam masalah ini para ulama berselisih pendapat. Pendapat terkuat, dipuasakan oleh ahli warisnya baik puasa nadzar maupun puasa Ramadhan.
Ø  Pendapat yang tidak memperbolehkan.
Menurut Imam Nawawi “Kalau seseorang meninggal dunia, atasnya ada hutang shalat atau i’tiqaf yang ditinggalkannya, maka walinya tidak boleh melakukan shalat sebagai penggantinya dan tidak juga fidyah sebagai pengganti shalat”.
Imam Ahmad berpendapat bahwa qadha puasa itu hanya untuk yang dinadzarkan. Adapun yang fardhu, maka tidak perlu diqadhakan untuk orang yang telah meninggal dunia, tapi cukup dengan menyedekahkan dari harta yang ditinggalkan sebanyak setengah sha’ untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan.







DAFTAR PUSTAKA
Ad-Damyathi, Al-Bakry. I’anah at-Thalibin,Thaha Putra: Semarang
Anshary, Zakariya. Ghayah al-Wushul, Usaha Keluarga: Semarang.
 An-Nawawi dan Qalyubi. Minhaj at-Thalibin dan Hasyiahnya, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah: Indonesia
Bukhari. Shahih al-Bukahri, Maktabah Syamilah.
 Muslim. Shahih Muslim, Maktabah Syamilah.
www.KonsultasiSyariah.com (21 Mei 2014, 07:25 WIB)


[2]  Al-Bakri ad-Damyathi. I’anah at-Thalibin,Thaha Putra: Semarang, Juz. I,h.  33
[3] Al-Bakri ad-Damyathi. Op. Cit., Juz. I,h. 24
[5] Zakariya Anshary. Ghayah al-Wushul, Usaha Keluarga: Semarang, h. 66
[6] An-Nawawi dan Qalyubi. Minhaj at-Thalibin dan Hasyiahnya, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah: Indonesia, Juz. II, h. 67
[7] Al-Bakri ad-Damyathi. Op. Cit., Juz. II,h. 244
[8] Bukhari. Shahih al-Bukahri, Maktabah Syamilah, Juz. I, h. 155, No. hadits : 597
[9] Muslim. Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. II, h. 142, No. hadits : 1598
[10]  Al-Bakri ad-Damyathi. Op. Cit., Juz. II,h. 33
[11] Ibid.
[12] www.KonsultasiSyariah.com (21 Mei 2014, 07:25 WIB)