MENGQADHA
SHOLAT DAN PUASA ORANG MENINGGAL
MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah :
Fiqih Ibadah
Dosen Pengampu : H. Ahmad Hamdani, LC., MA.
Disusun Oleh :
Naila Shifwah (1310110213)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN
TARBIYAH/PAI
2014
A.
LATAR BELAKANG
Shalat dan
puasa merupakan bagian dari lima rukun
Islam. Jika diibaratkan Islam itu sebuah rumah, shalat adalah tiangnya. Oleh
karena hal tersebut, siapa muslim yang menunaikan shalat berarti menegakkan
Islam, sebaliknya yang meninggalkan shalat secara tidak langsung ia telah
merobohkannya.
Meskipun
demikian, dalam kenyataannya masih banyak dijumpai orang yang menyepelekan dua
kewajiban di atas, dengan meninggalkan secara total atau mengerjakan sesuka
hati. Fenomena ini terjadi terutama pada ibadah shalat.
Hal tersebut
berlanjut hingga seorang muslim menemui ajalnya, yang berakibat pada hutang
shalat dan puasa yang masih ia tanggung, ini yang menjadi persoalan yang
dihadapi oleh orang-orang yang ditinggalkannya di dunia. Selain karena hal
tersebut, permasalan ini juga terjadi pada orang muslim yang mengalami sakit
yang tidak memungkinkan lagi untuk menunaikan dua kewajiban di atas dan ia
tidak sembuh sampai ajal menjemputnya atau orang muslim yang tidak memiliki daya
untuk menunaikannya, sehingga ia mempunyai hutang baik shalat atau puasa, maupun keduanya.
Permasalan
ini banyak kita dijumpai di masyarakat. Berkenaan shalat dan puasa merupakan
kewajiban yang sangat mendasar, serta masih banyak masyarakat muslim yang belum
mengerti tentang permasalan ini. Apakah islam memperbolehkan mengqadha atas
hutang shalat dan puasa orang meninggal, atau tidak? Lalu apa argumen
terhadapnya? Berikut akan dijelaskan dalam makalah ini.
B.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan
latar belakang di atas, berikut permasalan yang akan kami bahas:
1.
Bagaimana pendapat para ulama yang
memperbolehkan mengqadha shalat dan puasa orang meninggal?
2.
Bagaimana pendapat para ulama yang
tidak memperbolehkan mengqadha shalat dan puasa orang meninggal?
3.
Bagaimana pendapat penulis mengenai
permasalahan mengqadha shalat dan puasa orang meninggal?
C.
PEMBAHASAN
1.
Pendapat yang
Memperbolehkan Mengqadha Shalat dan Puasa Orang Meninggal
Ø Shalat
Jika ada orang yang
meninggal dunia, sedangkan dia masih memiliki tanggungan puasa maka walinya
berpuasa untuknya. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : ”Barangsiapa
yang meninggal dunia sedangkan dia masih memiliki tanggungan puasa, maka
wali-nya berpuasa untuknya.”
Ulama’ berkata bahwa
maksud wali disini adalah orang yang mendapatkan warisan darinya. Misalnya,
jika ada seseorang yang berbuka pada puasa Ramadhan karena sedang safar
atau sakit, lalu Allah menyembuhkan penyakitnya, namun dia meninggal dunia dan
belum sempat meng-qadha puasa yang dia tinggalkan, maka wali-nya berpuasa
untuknya. Yang meng-qadha puasanya bisa anak laki-lakinya, bapaknya, ibunya,
atau anak perempuannya. Yang penting statusnya sebagai ahli waris dia (orang
yang meninggal dunia). Namun demikian, tidak mengapa jika ada orang di
luar ahli waris yang berpuasa baginya. Kemudian jika tidak didapati seorangpun
yang mengganti puasa dia, maka (ahli waris) dia hendaknya memberi makan setiap
harinya satu orang miskin sebanyak puasa yang dia tinggalkan.
فائدة من مات وعليه صلاة فلا قضاء ولا
فدية وفي قول كجمع مجتهدين أنها تقضى عنه لخبر البخاري وغيره ومن ثم اختاره جمع من
أئمتنا وفعل به السبكي عن بعض أقاربه ونقل ابن برهان عن القديم أنه يلزم الولي إن
خلف تركة أن يصلى عنه كالصوم وفي وجه عليه كثيرون من أصحابنا أنه يطعم عن كل صلاة
مدا وقال المحب الطبري يصل للميت كل عبادة تفعل واجبة أو مندوبة
Barangsiapa meninggal dunia dan padanya terdapat kewajiban shalat maka tidak
ada qadha dan bayar fidyah. Menurut segolongan para mujtahid sesungguhnya
shalatnya juga diqadhai berdasarkan hadits riwayat Bukhari dan lainnya
karenanya segolongan imam cenderung memilih pendapat ini dan Imam Subky
juga mengerjakannya untuk sebagian kerabat-kerabat beliau.
Ibn Burhan menuqil dari qaul qadim wajib bagi wali bila mayit meninggalkan
warisan untuk menshalati atas namanya seperti halnya puasa, sebagian ulama
pengikut syafi’i memilih dengan mengganti setiap satu shalat satu mud. Syekh
Muhib at-Thabry berkata “Akan sampai pada mayat setiap ibadah yang
dikerjakan baik berupa ibadah wajib ataupun sunah”
Mayoritas ulama tidak membolehkan
mengqadha-kan shalat orang yang meninggal. Namun sebagian ulama membolehkan
berdasarkan pada hadits sahih riwayat Bukhari sebagai berikut:
أن ابن عمر رضى الله عنهما
أمر امرأة جعلت أمها على نفسها صلاة بقباء - يعنى ثم ماتت
-فقال : صلى عنها
Artinya: Ibnu Umar pernah memerintahkan seorang perempuan yang bernadzar
untuk shalat di Quba' kemudian meninggal (sebelum melaksanakan nadzar
tersebut). Ibnu berkata: Shalatlah untuknya.
Pendapat
yang ini diqiyaskan pada puasa. Semakna dengan pernyataan tersebut, Imam
As Subki juga pernah melakukan qodlo shalat untuk keluarganya yang meninggalkan
5 waktu shalat. Dan ternyata respon dari kalangan Syafi’iyah menganggapnya
sebagai hal yang baik. Pelaksanaan qodlo shalat ini dilaksanakan baik ada
wasiat dari mayyit atau tidak. Qaul (pendapat) ini juga didukung oleh
sekelompok ulama kontemporer, dengan bertendensikan bahwa kalau puasa saja bisa
diqodlo oleh orang lain mengapa shalat tidak? padahal shalat adalah paling
penting (al aham) dan merupakan rukun islam yang kedua sebelum rukun puasa.
ان
امرأة قالت : يا رسول الله ان امى ماتت وعليها صوم نذر افأصوم عنها ؟ قال : ارأيت
لو كان على أمك دين فقضيته اكان يؤدى ذلك عنها ؟ قالت : نعم، قال، فصومى عن امك
(رواه مسلم)
“Sesungguhnya
orang perempuan telah bertanya kepada Rosululloh SAW : Ya Rosululloh, Ibu saya
telah meninggal dunia sedang ia masih mempunyai tanggungan puasa nadzar yang
belum ditunaikannya? Rosululloh SAW pun menjawab : Katakanlah padaku,
seandainya ibumu mempunyai utang, kemudian engkau bayar utangnya itu, adakah
terbayar utang ibumu itu? Ya; jawab si perempuan itu, Rosululloh SAW bersabda :
Berpuasalah engkau untuk ibumu“(HR Muslim)
Ø Puasa
Bagi orang yang meninggal dunia, namun masih memiliki utang puasa, apakah
puasanya diqodho’ oleh ahli waris sepeninggalnya ataukah tidak, dalam masalah
ini para ulama berselisih pendapat. Pendapat terkuat, dipuasakan oleh ahli
warisnya baik puasa nadzar maupun puasa Ramadhan. Pendapat ini dipilih oleh Abu
Tsaur, Imam Ahmad, Imam Asy Syafi’i, pendapat yang dipilih oleh An Nawawi,
pendapat para pakar hadits dan pendapat Ibnu Hazm. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah,
2/130-133)
Dalil dari pendapat ini adalah hadits ‘Aisyah,
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
“Barangsiapa yang
mati dalam keadaan masih memiliki kewajiban puasa, maka ahli warisnya yang
nanti akan mempuasakannya.” (HR. Bukhari no. 1952 dan Muslim no. 1147) Yang
dimaksud “waliyyuhu” adalah ahli waris. (Lihat Tawdhihul Ahkam, 2/712
dan Asy Syarhul Mumthi’, 3/93) Namun hukum membayar puasa di sini bagi ahli
waris tidak sampai wajib, hanya disunnahkan. (Lihat Al Minhaj Syarh Shahih
Muslim, 8/26)
Juga hadits Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى
النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى
مَاتَتْ ، وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ ، أَفَأَقْضِيهِ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ -
قَالَ - فَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى »
“Ada seseorang yang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
kemudian dia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal
dunia, dan dia memiliki utang puasa selama sebulan [dalam riwayat lain
dikatakan: puasa tersebut adalah puasa nadzar], apakah aku harus
mempuasakannya?” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Iya. Utang pada Allah lebih pantas engkau tunaikan.” (HR. Bukhari no. 1953 dan Muslim no. 1148)
Hadits ‘Aisyah di atas membicarakan utang puasa secara umum sedangkan
hadits Ibnu ‘Abbas membicarakan utang puasa nadzar. Jadi keumuman pada hadits
‘Aisyah tidak dikhususkan dengan hadits Ibnu ‘Abbas karena di dalamnya tidak
ada pertentangan. Sebagaimana dalam ilmu ushul fiqh, takhsis
(pengkhususan) itu ada jika terdapat saling pertentangan antara dalil yang ada.
Namun dalam kasus ini, tidak ada pertentangan dalil. Ibnu Hajar mengatakan,
“Hadits Ibnu ‘Abbas adalah hadits yang berdiri sendiri (tidak berkaitan dengan
hadits ‘Aisyah, -pen), membicarakan khusus orang yang memiliki qodho’ puasa
nadzar. Adapun hadits ‘Aisyah adalah hadits yang bersifat umum.” (Fathul Bari,
4/193)
Boleh beberapa hari qodho’ puasa dibagi kepada beberapa ahli waris.
Kemudian mereka –boleh laki-laki ataupun perempuan- mendapatkan satu atau
beberapa hari puasa. Boleh juga mereka membayar utang puasa tersebut dalam satu
hari dengan serempak beberapa ahli waris melaksanakan puasa sesuai dengan utang
yang dimiliki oleh orang yang telah meninggal dunia tadi. (Lihat Tawdhihul
Ahkam, 2/712)
2.
Pendapat yang
Tidak Memperbolehkan Mengqadha Shalat dan Puasa Orang Meninggal
Ø Shalat
Berkata Zakariya Anshary : “Pada ibadah badaniyah, tidak boleh pada
syara’ menggantikannya kecuali haji, umrah dan puasa setelah orangnya meninggal
dunia”.
Menurut Imam Nawawi “Kalau seseorang meninggal dunia, atasnya ada
hutang shalat atau i’tiqaf yang ditinggalkannya, maka walinya tidak boleh
melakukan shalat sebagai penggantinya dan tidak juga fidyah sebagai pengganti shalat”.
Zainuddin al-Malibary juga berpendapat : “Kalau seseorang meninggal
dunia, atasnya ada hutang shalat yang ditinggalkannya, maka tidak ada qadha dan
tidak juga fidyah”. Selanjutnya beliau mengatakan : “Ada pendapat yang menjadi
pegangan kebanyakan ashhabina, diberikan untuk setiap shalat satu mud makanan”.
Al-Kurdy juga berkata: “al-Khuwarizmy pernah mengatakan : “Aku
pernah melihat ulama dari sahabat-sahabat kita di Khurashan yang berfatwa
dengan memberikan satu mud makanan untuk setiap shalat yang ditinggalkannya.”
Sedangkan pendapat rajih dalam mazhab Syafi’i tidak boleh membayar
fidyah sebagai pengganti shalat orang yang sudah meninggal dunia, karena shalat
merupakan ibadah badaniyah. Seseorang yang meninggalkan shalat, baik sengaja
atau tidak, maka tidak ada penggantinya kecuali dengan qadha pada waktu
hidupnya Pendapat didukung oleh hadits Nabi SAW , antara lain hadits riwayat
Bukhari dan Muslim :
مَنْ نَسِيَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا لاَ كَفَّارَةَ
لَهَا إِلاَّ ذَلِكَ
Artinya
: Barangsiapa yang lupa shalat, maka hendaklah dia shalat apabila sudah
mengingatnya kembali, tidak ada kifarat untuknya kecuali itu.(H.R.Bukhari
dan Muslim)
Pendapat mengenai shalat yang tidak bisa diqodlo dan fidyah ini
yang ashoh (paling shahih) dan masyhur menurut Imam Syafi’i. Karena tidak
terdapat dalam hadits dan al Qur’an.
من مات و عليه صلاة فرض لم تقض ولم تفد عنه (اعا نة ا لطا لبين ج 1 ص 33)
“Barang siapa yg meninggal dunia sedang ia memiliki tanggungan
sholat maka tidak usah di qodlo dan di fidyahi“
Bahkan menurut hanafiyah, seandainya ahli waris menqodlo atas
perintah si mayyit saat hidupnya maka tidak diperbolehkan, karena sholat
merupakan ibadah badaniyyah yang tidak boleh digantikan oleh orang lain.
ولوقضاها بامره لم يجز لانها عبادة بدنية (اعا نة
ا لطا لبين ج 1 ص 33)
Ø Puasa
Imam Ahmad berpendapat bahwa qadha puasa itu hanya untuk yang dinadzarkan.
Adapun yang fardhu, maka tidak perlu diqadhakan untuk orang yang telah
meninggal dunia, tapi cukup dengan menyedekahkan dari harta yang ditinggalkan
sebanyak setengah sha’ untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan. Imam Ahmad
berdalil dengan hadits Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam, “Tidak sah
seseorang berpuasa atas nama orang lain, begitu pula tidak sah seseorang shalat
atas nama orang lain.”
Hadits yang dijadikan
landasan Imam Ahmad mengandung makna bahwa kewajiban itu adalah beban
orang-orang yang masih hidup, bukan orang meninggal. Dan dalam urusan ibadah,
tidak boleh diwakilkan kepada orang lain kecuali dalam kondisi tertentu.
Al ‘Azhim Abadi mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa jika
seseorang tidak puasa karena alasan sakit dan safar, lalu ia tidak meremehkan
dalam penunaian qodho’ hingga ia mati, maka ia tidak ada kewajiban qodho’ dan
juga tidak ada kewajiban fidyah (memberikan makan pada orang miskin).” (‘Aunul
Ma’bud, 7/26)
3.
Pendapat
Penulis
Mengenai menggodlo sholat dan puasa orang meninggal penulis lebih
melihat pada pendapat yang memperbolehkan mengqadhanya. Bagaimanapun
masing-masing mempunyai landasan hukum tersendiri terhadap menyikapi permasalan
ini, termasuk pendapat yang memperbolehkan mengqadhanya.
Dalam sebuah hadits dalam riwayat Imam Muslim diceritakan, suatu
ketika Rasulullah pernah ditanya oleh seorang perempuan perihal ibunya yang
meninggal dunia dalam keadaan masih menanggung puasa nadzar; apakah dia bolah
mengqadha atas namanya.
Akhirnya beliau menjawab, “berpuasalah sebagai ganti ibumu (summy
‘an ummik)”. Dalam hadits lain riwayat Imam Bukhari dan Muslim, Rasul juga
bersabda, “Barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan masih menanggung puasa,
maka walinya berpuasa, mka walinya berpuasa atas namanya”.
Kedua hadits tersebut jelas memperbolehkan orang yang masih hidup
mengqadha puasa orang yang telah meninggal dunia. Dalam hal ini, shalat
disamakan dengan puasa dengan jalan qiyas (analogi).
Dengan diperbolehkan mengqadha sholat dan puasa bukan berarti
lantas kita bisa dengan enteng meninggalkan sholat dan puasa, toh nanti kalau
meninggal dunia ada yang menggantinya. Tetapi hal itu harus dipahami sebagai
bukti betapa tingginya kedudukan atau nilai sholat dan puasa dalam Islam.
Di samping itu, menggantungkan nasib kepada orang lain, apalagi
yang berhubungan dengan urusan agama yang berkaitan dengan kehidupan yang kekal
di akhirat, sudah barang tentu tindakan ynag sembrono dan berbahaya sekali.
lagi pula, kalau si mayit meninggalkan sholat atau puasa tanpa udzur meskipun
pada akhirnya ada wali atau keluarga yang mengqadha atas namanya, ia tetap
harus mmpertanggungjawabkan perbuatannya kepada Allah. Sebab meninggalkan
sholat atau puasa tanpa udzur di samping mengqadha yang bersangkutan juga
diharuskan bertobat. Padahal dengan datangnya ajal kesempatan tobat telah
tertutup.
Perbedaan pendapat ulama adalah rahmat bagi ummat, maka dengan
perbedaan pendapat di atas diharapkan tidak menjadikan polemik yang
berkepanjangan di tengah masyarakat, akan tetapi justru membuat kita dapat
saling menghargai dan menghormati pendapat orang lain yang juga mengikuti
pendapat ulama’ yang mu’tabar.
D.
KESIMPULAN
Ø Pendapat yang
memperbolehkan.
Jika ada orang yang
meninggal dunia, sedangkan dia masih memiliki tanggungan puasa maka walinya
berpuasa untuknya. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
”Barangsiapa yang meninggal dunia sedangkan dia masih memiliki tanggungan
puasa, maka wali-nya berpuasa untuknya.”
Bagi orang yang
meninggal dunia, namun masih memiliki utang puasa, apakah puasanya diqodho’
oleh ahli waris sepeninggalnya ataukah tidak, dalam masalah ini para ulama
berselisih pendapat. Pendapat terkuat, dipuasakan oleh ahli warisnya baik puasa
nadzar maupun puasa Ramadhan.
Ø Pendapat yang tidak
memperbolehkan.
Menurut Imam
Nawawi “Kalau seseorang meninggal dunia, atasnya ada hutang shalat atau i’tiqaf
yang ditinggalkannya, maka walinya tidak boleh melakukan shalat sebagai
penggantinya dan tidak juga fidyah sebagai pengganti shalat”.
Imam Ahmad berpendapat bahwa qadha puasa itu hanya
untuk yang dinadzarkan. Adapun yang fardhu, maka tidak perlu diqadhakan untuk
orang yang telah meninggal dunia, tapi cukup dengan menyedekahkan dari harta
yang ditinggalkan sebanyak setengah sha’ untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan.
DAFTAR PUSTAKA
Ad-Damyathi,
Al-Bakry. I’anah at-Thalibin,Thaha Putra: Semarang
Anshary,
Zakariya. Ghayah al-Wushul, Usaha Keluarga: Semarang.
An-Nawawi dan Qalyubi. Minhaj at-Thalibin dan
Hasyiahnya, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah: Indonesia
Bukhari.
Shahih al-Bukahri, Maktabah Syamilah.
Muslim. Shahih Muslim, Maktabah
Syamilah.
www.KonsultasiSyariah.com
(21 Mei 2014, 07:25 WIB)
Muslim. Shahih Muslim,
Maktabah Syamilah, Juz. II, h. 142, No. hadits : 1598